Sorak sorai gembira terdengar saat hujan deras mengguyur daerah yang diselimuti asap tebal. Asap yang membuat dada terasa sempit dan sesak itu sedikit demi sedikit menghilang. Lega rasanya menghirup udara segar tanpa polusi. Namun dibalik hilangnya asap tebal, hutan yang terbakar tidak benar-benar bisa terobati. Hutan-hutan itu kini menjadi tempat puing-puing pohon yang mati menggosong. Tetapi tahukah kawan? Yang lebih memprihatinkan, terbakarnya hutan tidak hanya merugikan umat manusia secara umum tetapi juga kita sebagai tenaga kesehatan.
Bagi kehidupan manusia, hutan merupakan paru-paru dunia. Sumber oksigen dan pelindung dari pengaruh global warming akibat menipisnya lapisan ozon di atmosfer. Hutan mampu menghasilkan oksigen dan menyaring udara polusi dan gas-gas beracun dari kendaraan bermotor dan pabrik. terbakarnya hutan dan pepohonan menimbulkan polusi udara yang tinggi dan berakibat munculnya masalah-masalah pernapasan seperti infeksi saluran napas, bronkitis, asma dan sebagainya. Tidak hanya itu, udara yang kotor berpolusi juga akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat dan membuat masyarakat rentan terkena penyakit-penyakit yang tersebar lewat udara.
Tidak hanya oksigen, dengan akarnya hutan juga menyediakan air bersih untuk kehidupan manusia. Lingkungan yang tandus, persediaan air bersih yang terbatas akan menambah risiko penyakit yang berkaitan dengan sanitasi seperti diare dan penyakit kulit. Daerah yang tandus memiliki tingkat malnutrisi yang lebih tinggi akibat kurangnya sumber tanaman pangan. Penyakit yang timbul dan tingkat nutrisi masyarakat yang rendah menjadi beban kesehatan yang tidak terelakkan.
Selain oksigen dan air yang esensial untuk kehidupan manusia. Hutan juga menyediakan tanaman-tanaman dan hewan-hewan yang dapat menghasilkan racun, fungisida, antibiotik, dan senyawa biologi aktif lainnya sebagai mekanisme pertahan. Senyawa aktif ini dapat digunakan oleh farmasis untuk menciptakan obat-obatan berbagai penyakit. Banyak obat-obatan yang diproduksi hingga sekarang masih menggunakan bahan baku tanaman-tanaman hutan tropis seperti obat malaria quinine dari Cinchona spp, obat kanker dari bunga Tapak Dara ( Catharanthus roseus), obat pembesaran kelenjar prostat dari Prunus africana, tanaman cemara asli pegunungan Sub-Sahara Afrika, Forskolin yang digunakan untuk membuat berbagai obat berasal dari akar tanaman Coleus forskohlii dan obat-obatan untuk menangani diabetes yang berasal dari tanaman Dioscorea dumetorum dan Harungana vismia. Itu hanya sedikit contoh dari berbagai tanaman yang dapat diproses menjadi obat-obatan.
Celakanya, akibat kerusakan dan kebakaran hutan jumlah tanaman-tanaman obat ini semakin langka. Di hutan pulau Kalimantan misalnya selama 25 tahun sudah ditemukan sekitar 422 spesies tanaman baru yang sangat berpotensi untuk digunakan sebagai tanaman obat. Tetapi, kebakaran hutan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan penemuan spesies-spesies baru tanaman tersebut terancam berakhir sia-sia.
Kebakaran hutan yang terjadi juga mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor-vektor penyakit seperti nyamuk, tikus dan serangga. Terdapat banyak penelitian yang mengasosiasikan adanya deforestasi akibat penebangan liar dan kebakaran dengan munculnya penyakit berbasis vektor di daerah sekitar deforestasi, seperti kasus malaria di Peru, American Cutaneous Leishmaniasis (ACL) di Costa Rica dan hantavirus di Panama. Penyakit-penyakit tersebut muncul akibat rusaknya habitat vektor-vektor penyakit seperti nyamuk dan tikus yang tinggal di hutan. Selain malaria, penyakit lain seperti demam kuning, penyakit chagas, dan ebola juga bisa cepat menyebar akibat rusaknya hutan.
Kebakaran hutan yang terjadi secara masif juga dapat menimbulkan perubahan ekstrim cuaca dan iklim. Hal ini menimbulkan masalah yang tidak kalah pelik. Penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor nyamuk seperti malaria, dengue, dan encephalitis sangat tergantung pada perubahan iklim. Perubahan iklim akan secara langsung mempengaruhi transmisi penyebaran penyakit dengan memperluas rentang geografis vektor, menambah tingkat reproduksi dan frekuensi gigitan dan mempersingkat periode inkubasi patogen. Dengan adanya ketiga faktor, insidensi penyakit-penyakit mematikan tersebut dapat meningkat secara drastis.
Selain perubahan iklim, gundulnya hutan juga menambah risiko bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan. Adanya bencana-bencana ini tentu akan menambah beban kesehatan dan merugikan perekonomian negara akibat matinya aktivitas masyarakat dan rusaknya infrastruktur akibat bencana.
Masih banyak kerugian lain akibat kebakaran dan penebangan hutan yang dirasakan oleh umat manusia. Tidak hanya aspek ekonomi dan sosial tetapi juga aspek kesehatan. Kerugian yang dirasakan pun tidak hanya bersifat akut dan sementara tetapi menjadi penyakit kronis yang dirasakan oleh generasi-generasi selanjutnya. Oleh karena itu, bukan hanya pegiat-pegiat lingkungan yang wajib melestarikan hutan, sebagai tenaga kesehatan pun kita harus menjadi teman baik hutan dan pepohonan.
No comments:
Post a Comment